open-recruitment-persma-universitas-asahan

Senioritas Itu Ketinggalan Jaman

Dibaca 0 kali
Senioritas Itu Ketinggalan Jaman, Ia Pantas Dibunuh
Gambar: sahabatfillah.net
Pekan perayaan kelulusan SMA telah usai, macam-macam selebrasinya pun telah puas kita lihat melalui media informasi. Mulai dari berbagi takjil, menyantuni fakir miskin, sampai pada celebrasi kelulusan yang paling kuno: corat-coret baju sekolah.

Sekarang dan dalam beberapa minggu ke depan, mereka yang menjadi aktor dan figuran celebrasi tadi kembali disibukkan dengan yang lainnya. Penerimaan Mahasiswa Baru atau lebih familiar disebut PMB. Ya, kita sedang bicara soal kuliah dan kehidupan kampus.

Zaman sekarang ini, setiap lulusan SMA/Sederajatnya tentu memiliki keinginan untuk menjadi seorang mahasiswa. Sebab menjadi mahasiswa itu adalah kebanggaan. Mampu untuk membayar lancar biaya perkuliahan dan tetek bengeknya hingga wisuda, ini adalah keberuntungan.

Mahasiswa yang sungguh-sungguh belajar di kampus, terlebih memiliki keberuntungan tadi, tentu pintu karir akademisnya akan terbuka lebar. Berbeda dengan anak-anak dari golongan tidak mampu yang terpaksa membuang jauh-jauh mimpinya menjadi mahasiswa karena masalah biaya. Bayar uang kuliah? bisa makan saja sudah untung! Begitulah kira-kira.

Saya tidak ingin keluar topik dengan membahas orang-orang miskin ini, karena tak ada yang peduli selain untuk pencitraan semata. Tapi, mungkin ada benang merah antara orang-orang miskin yang tidak beruntung ini dengan budaya senioritas yang masih mendarah-daging. Ya, mungkin.


Pengelanan Kehidupan Kampus Senioritas
Menjadi mahasiswa baru seperti ketiban sial. Harus bangun pagi-pagi, berhari-hari untuk menjalani Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Hanya untuk menjadi "kunyahan" senior, kaum-kaum yang lebih dulu. Mahasiswa Baru yang resmi menyandang status junior, siap-siap jadi "kambing yang dicucuk hidungnya", oleh senior. 

Pemerintah melalui Menristekdikti tiap tahun telah memberikan pedoman terkait PKKMB atau dulunya dibilang OSPEK. Pedoman ini, tujuannya memang untuk meminimalisir tindakan bully dari senior. Tapi saya yakin, pedoman itu tak sepenuhnya dijalankan oleh Kampus, dan panitia yang tak lain adalah para senior.

Senior tidak pernah salah, Junior tidak boleh lebih cantik/ganteng dari senior, Junior tidak boleh lebih tinggi dan/atau pintar dari senior. Pasal-pasal semacam ini akan terus ditanamkan sepanjang masa PKKMB. Disinilah tradisi senioritas mulai ditanamkan ke kepala generasi anak bangsa, calon penyandang gelar akademis.

Kenyataannya, penanaman senioritas ini tidak berhenti di masa-masa PKKMB saja, melainkan ke ruang lingkup yang lebih terstruktur dan sistematis: organisasi ber-tagline "pembela rakyat". Para kader yang masih seumur jagung dipaksa tunduk, senior mendominasi dan pasti benar.

Apa saja arahan dan perintah senior, junior harus patuh. Perintah menindas sesama mahasiswa pun dilakukan. Tak soal benar atau salah. Masuk jurang pun jadi. Tak sampai di situ, biasa dalam pergerakan mahasiswa. Kader bahkan dipaksa tutup mulut dan berhenti aksi jika senior berhasil dapat jatah makan dari dalam.

Mungkin karena Negara ini belum genap seabad dari penjajahan dan kolonialisme, lantas tradisi perbudakan dianggap masih jadi trend dalam mencapai tujuan organisasi maupun individual. Toh sepanjang rezim "orde baru" berkuasa, otoritarianisme dan perbudakan sosial-politik-ekonomi turut dianggap lazim dan menjadi lumrah. Tumbangnya Pak Harto pada 1998 ternyata tak turut menumbangkan kebiasaan otoritarianisme dan perbudakan hingga saat ini, bahkan di dunia kampus.

Atau apakah ada penyebab lain yang memunculkan pertanyaan: kenapa senioritas ini sama persis dengan kolonialisme-nya penjajah atau otoritarianisme-nya orde baru yang sama-sama menindas sesama manusia?


Tumbangkan Senioritas
Tumbangkan Senioritas, pasti akan banyak suara yang tidak senada dengan ini. Namun ketika senioritas bahkan telah sampai pada menciptakan standar nongkrong di kantin dengan peng-klasifikasi-an "meja senior" dan "meja junior", tentu senioritas itu harus ditumbangkan. Sebab tidak ada pembenaran atas perbuatan diskriminatif terhadap siapapun.

Perbudakan dan diskriminisasi yang bertopengkan senioritas di kampus memang harus dibunuh. Bukan hanya dari pikiran tapi dari tindakan kritis mahasiswa itu sendiri.

Sebab Mahasiswa adalah alat dari agenda terbesar di negara ini, agenda itu bernama demokrasi. Mahasiswa dalam konsep demokrasi bisa berperan sebagai busur dan anak panah sekaligus. Tajam dan progresif. Bangun kekuatan dan persatuan dalam penegakan hukum dan demokrasi tanpa pandang bulu. Senior atau tidak, bukan fokus utama. Jadi agent of change sungguhan, itu yang terpenting.

Mahasiswa jangan lagi diam. Senioritas telah membunuh kemerdekaan berfikir rasional seorang mahasiswa secara keji. Ia pantas mati. Hingga akhirnya mati pula sifat acuh tak acuh dan apatisme mahasiswa terhadap masalah sosial, mati bersama senioritas itu sendiri.
Jangan lupa tekan tombol laik en share ya gaes. SHARE:

Baca Juga